How to be a normal

Assalamualaikum… Hallo hallo, apa kabar nih? Lama banget rasanya nggak nulis lagi. Banyak moment sebenernya yang siap di tulis dan dishare ke public, tapi sayangnya aku belum bisa nyempetin sedikit waktu buat nulis. Dari cerita Pengabdian masyarakat PPGD, Pemberdayaan masyarakat untuk pasien Diabetes, Kemah Bakti Perawat, Pelantikan Dewan Pramuka, Idul Fitri dan masih buanyak lagi cerita yang Masya Allah, bersyukur banget.

Tapi artikel kali ini bukan cerita tentang itu semua. Artikel kali ini, aku lagi pengen nulis aja seputar sebuah topic yang bisa dibilang menjadi emergency problem. Ya nggak gawat darurat sekali sih, tapi ibarat tingkat pentingnya itu bisa jadi topik ini termasuk golongan garis merah. Oke, aku akan mulai dari pengalaman pribadi hingga bicara tentang problem and solvingnya. But wait, sebelumnya aku nggak ada maksud untuk curcol ataupun sombong, sok bener, sok baik dan lain sebagainya. Tapi ini pure hanya ingin sharing dan semoga bermanfaat.

“How to be a Normal?”


Judul ini aku ambil dari salah satu pengalamanku tentang berhijrah menggunakan hijab. Ya seperti yang kalian tau, bahwa setiap kaum hawa yang beragama muslim sudah menjadi kewajibannya untuk berhijab. It’s okay ini bukan masalahnya. Yang bermasalah adalah tentang kepercayaan diri. Ya, aku sempat tidak percaya diri untuk menggunakan hijab. Aku sempat ingin nekat untuk melepaskan hijab hanya karna temen-temen aku bilang, “Sev, ngapain sih pakek jilbab? Kamu tuh cantikan gak pakek jilbab tauk!”, “Selamat ya atas jilbabnya!  Tapi masih cantik gak pakek Jilbab sih!”, “Cantik sih, tapi sayang rambut bagusnya udah nggak keliatan lagi”, dan masih banyak lagi.

Seketika apa yang sudah menjadi pilihanku untuk memakai jilbab, berubah. Aku mulai ragu dan takut kalo aku nggak bisa cantik lagi. Aku nggak akan bisa jadi pusat perhatian lagi, I mean, setiap orang pasti punya rasa ingin menjadi pusat perhatian. Ya, walaupun mungkin banyak diantara kalian nggak setuju, tapi aku rasa memang kenyataannya seperti itu. Well, back to the topic. 

Akhirnya aku memilih untuk tidak berhijab didunia maya. Contohnya, em.. emang bener sih kalau aku keluar rumah, pergi, atau kemana pun insya Allah jilbabnya aku pakek terus tapi berbeda kalau aku lagi pingin selfie sendiri, lagi pingin upload foto dan lain lain yang berhubungan dengan dunia maya, aku lebih memilih untuk melepaskan jilbabku. Dari niatku kala itu, aku ingin khalayak tetap bisa menikmati tampilanku yang tanpa menggunakan hijab. Sampai suatu saat, aku dapat teguran dari temen deket aku sendiri, lebih lebih dia ini adalah seorang cowok yang saat itu lagi negur di depan umum. 

“Ya, jangan salahin mereka dong kalau mereka lihat foto kamu tanpa hijab kayak gitu. Gunanya di posting kan untuk dipublikasikan, dilihat untuk umum dan siapapun, kapanpun bisa lihat foto kamu. Terus apa dong gunanya jilbab kamu? Buat nutupin apaan kalo di sosmed dibuka?”.

JLEB

Gila aja, aku ditegur di depan umum. Tapi udahlah bukan itu, aku pikir walaupun caranya kurang baik, tapi dia bener juga. Sama sekali nggak salah. Sebenernya apa sih makna hijab sesungguhnya? Kok aku masih buat mainan jilbab? Bukan masalah nyaman atau nggaknya, manteb atau enggaknya, bukan masalah waktu yang tepat untuk berhijrah ataupun masalah tentang “Halah, cuman di depan rumah doang, halah cuman dia doang kok, halah halah cuman di sosmed doang kok”. Bukan masalah itu semua. Tapi pelajaran yang aku dapet dari teguran temen deket aku tadi adalah bagaimana kita menggunakan otak kita, pikiran kita untuk mengerti makna dari semua yang telah kita putuskan, makna dari sebuah perintah dan makna lebih jauh tentang sebuah Hijab. 

Aku sudah terlampau gila popularitas untuk bisa jernih melihat kedamaian. Aku terlampau gila pujian sampai-sampai aku nggak bisa mikir jernih tentang hijabku sendiri. Orang bisa saja komentar ini itu tentang aku,tapi sebenernya mereka nggak pernah bener-bener peduli dengan hal itu. Mereka hanya berkomentar atas apa yang mereka lihat. Hanya sebatas itu, not more.

Lain kesempatan lagi. It’s about make-up. Bagi perempuan adalah hal yang lumrah bahkan wajib. Entah dari kapan seorang Sevita yang nggak pernah bisa dandan berubah menjadi seorang yang ketergantungan dengan make up. Dimulai dari masa perkuliahan. Rasanya kalau nggak pake lipstick, nge-gambar alis, mengkriting bulu mata dan memakai bedak, aku nggak bisa percaya diri. Aku merasa jelek, merasa item, dan merasa kumus (wajah berminyak, nggak seger, dekil). Sampai akhirnya aku ngelihat temen sekelas dimana bagiku dia itu adalah cewek yang cantik. Aku lihat wajah dia pelan-pelan, terus aku mikir dong, apa coba yang bisa buat dia secantik itu? Sedangkan aku tau betul, dia nggak bikin alis palsu, warna merah bibirnya juga natural, bulu matanyapun juga bulu mata biasa, nggak lentik, tapi dia cantik. 
Okeh aku sadar, tampil percaya diri itu perlu. Ada sebagian temen aku yang bilang, “lakukan apapun yang bisa membuat kamu tampil percaya diri, nyaman dan bahagia”. Gimana menurut kalian, setuju dong dengan apa kata temen aku? Jadi menurut dia, walaupun lipstick kita warnanya merah darah, item, ungu atau kuning stabilo, it’s okay aja kalo emang itu bisa bikin dirimu percaya diri.

Buat aku quotes temen aku itu bener, tapi harus dilihat juga situasinya. Mungkin nggak aku menggunakan kata-kata itu sebagai motivasiku saat aku belajar pakek jilbab? Jika posisi ternyamanku adalah diujung popularitas, dipuji banyak orang dan menampilkan keelokan ciptaan Tuhan yang diturunkan padaku, apakah itu masih berlaku? I don’t think so.

Contoh lagi nih. Beberapa hari yang lalu, temen cewek aku dimana dia adalah seorang vocalist sempet bilang kalo suaranya sekarang nggak sebagus waktu dia masih ngerokok. Lantas dia mikir kalo dia ngerokok lagi, mungkin suaranya bisa bagus lagi. Entahlah, tapi saat tahu dia ngomong gini, speechless aja aku langsung ngomel sendiri kek gini, “Plis. Kamu tanya pendapat public untuk dukung kamu ngerokok lagi atau enggak demi suara kamu bagus lagi? Okeh, suara bagus mungkin adalah sumber percaya diri kamu, tapi banyak orang yang suaranya gak bagus bahkan jelek malah kayak aku gini yang masih bisa hidup kok. Dan aku yakin mereka yang ndukung kamu untuk ngerokok lagi sebenernya nggak bener-bener peduli dengan suara kamu bahkan kesehatan kamu. Lantas kalo ada sakitnya kamu karna ngerokok hanya karna demi mendapat suara bagus, untuk menuruti perkataan public, mendapat pujian bahwa suara kamu bagus, mereka nggak akan bantu nyehatin kamu kalo kamu sakit, nggak bakal gantiin pita suara kamu. Dan aku yakin bahwa andai suara bagus kamu balik dengan cara apapun tidak akan lantas membuat kamu bener-bener bahagia”.

Walaupun suara bagus, paras cantik, body goals, mapan, kaya, raya, ganteng, menjadi terkenal dan nge-top, atau menjadi apapun yang kita inginkan, masalah akan terus datang. Sedih akan menerpa, bahagia ada masanya… untuk berlalu. Semua sementara sifatnya. 
   
Dewasa ini, aku semakin tahu bahwa dunia ini kerjaannya hanya membuat manusia nya capek. Capek untuk lari mencapai tujuan tanpa batas. Contohnya saja pujian orang lain. Semakin dikejar maka semakin tidak akan pernah ada batasnya untuk puas. Manusia seperti aku akan terus berlari nggak peduli meski hati aku kosong, pikiranku nggak damai, lubuk hatiku khawatir jika public berhenti memperhatikan aku, atau otak terus berpikir bagaimana agar selalu bisa tampil cantik bagi mereka.

Aku baru sadar bahwa hidup bukan tentang membuat orang lain bahagia versi mereka. Pada dasarnya manusia memang suka berkomentar mengenai sesuatu, tetapi mereka lupa bahwa vesi baik setiap orang berbeda. Mungkin menurut temen-temen aku, aku lebih cantik kalau nggak pakek hijab. Tapi dihadapan Allah aku lebih cantik menggunakan hijabku daripada melepasnya. Bisa jadi menurutku, aku lebih cantik saat menggunakan make-up, mempoles wajahku dengan berbagai beauty skin atau skin care terbaik, termahal, tapi nyatanya dunia tidak pernah peduli atas tampilan wajahku, mau aku poles kek, mau aku pasang wajah bangun tidur sambil ingusan kek, mau aku item, putih, dunia nggak akan peduli atas itu. Terus kenapa aku khawatir?

Aku sadar bahwa tidak menggunakan hijab tidak akan bisa membuat aku bahagia, apalagi bahagia yang sifatnya kekal. Saat emosi, aku sadar bahwa sebenernya untuk membalas perbuatan jahat orang lain tidak lantas membuat aku puas atau bahagia atas penderitaan yang dia alami, satu lagi… 
Melakukan apa yang membuat aku bahagia sebenarnya tidak pernah menjanjikan apapun atas sebuah kebahagiaan yang aku nantikan.
Aku lelah mencari perhatian mereka, aku lelah berusaha cantik, aku lelah berusaha baik HANYA DEMI MANUSIA. Untuk apa? Jika ada Tuhan yang mau menerima aku apa adanya. 

Bagaimana menjadi normal, adalah dengan hanya menjadi diriku sendiri. Memaafkan diri sendiri yang tidak bisa menjadi seperti yang aku inginkan. Diriku punya batas, jangan melampaui  hingga memaksakan diri. Jangan memaksa hingga aku berbohong, gengsi, egois, keras kepala, dan bersikap manis, cukup tampil apa adanya saja. 

“Dirimu punya jati, jangan kau tutupi!”

Jika jatimu sebagai muslimah, tampilkanlah. Gunakan hijabmu, jangan tutupi dengan mencari pujian, perhatian dunia hingga kamu terus berlari untuk bisa tampil menarik. Jangan menjadi menor dengan bersolek.

Jika jatimu sebagai perempuan, tampilkanlah. Tidak harus dengan berdandan agar menunjukkan bahwa kamu adalah seorang perempuan. Membeli tas, baju atau perhiasan untuk menghias tampilanmu dengan harga mahal untuk menunjukkan bahwa kamu cantik dan eksklusif. Cukup menjadi perempuan adalah lebih baik menunjukkan bahwa kamu adalah perempuan sejati.

Jika jatimu sebagai laki-laki tampilkanlah. Bukan dengan punya mobil, berjas, berlimpah materi lantas membuat kamu merasa jantan. Cukup menjadi layaknya seorang laki-laki adalah lebih baik untuk menunjukkan bahwa kamu laki-laki sejati.

Jika jatimu sebagai MANUSIA maka tampilkanlah. Tampil bawasannya kita adalah makhluk lemah yang terbatas. Tidak ada daya dan upaya, tidak lebih mengerti yang terbaik bahkan untuk diri sendiri. Dan tidak pernah tau caranya menjadi bahagia yang abadi.
Bahagialah dengan mulai ikhlas walaupun sukar… dengan semua ketetapan-Nya.

Berbahagialah kamu yang sudah bebas dari apa kata dunia. Sungguh aku iri terhadap kalian. Jujur aja sih, aku juga pengen bisa istiqomah menggunakan pakaian syar’i misalnya. Tapi banyak yang bilang kalo aku keliatan lebih tua dari umurku, ada yang bilang bahwa aku seperti ibu-ibu dan lain-lainnya. Ya jujur, bahwa aku belum bebas. 

Temen-temen, cerita ini sengaja aku tulis untuk ngingetin diriku sendiri. Semoga bisa menjadi pelipur bagi jiwa yang tengah lelah. Amin. Semoga bermanfaat, Wassalamualaikum… :)

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf, berniat mau membalas komentar anda tapi malah kehapus. Saya akan ulangi pertanyaan anda, "Bagaimana jika kenormalan kita malah menjadi bumerang bagi orang lain? Diluar topik hijab". Mungkin disini yang saya tangkap dari pertanyaan anda adalah apa yang menurut anda normal ternyata tidak dianggap normal bagi orang lain. Menurut saya, standar menjadi normal bagi setiap orang itu berbeda. Contohnya saya merasa normal normal saja dengan sikap yang melekat pada diri saya. Tapi nyatanya orang2 menilai bahwa saya terlalu pendiam, egois dan apatis. Menurut mereka kehadiran saya mengganggu mereka. Misalkan seperti itu. It's okay with what they will said. Asalkan anda dapat membuktikan bahwa kenormalan anda dapat dipertanggung jawabkan dan konsekuen bagi saya cuek saja. Tapi jika anda masih ragu, maka kembalikan kepada standar normal terbaik yaitu menjadi normal menurut Tuhan anda, seperti yang sudah di jelaskan pada pedoman hidup anda.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menderita Leptospirosis?

Faedah Quarantine Day.

Surga itu Dekat, Bahagia itu Sederhana